KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya
panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan anugerah dan bantuanNya
saya dapat mengerjakan dan menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat
waktu. Terima kasih kepada Pak Rangga selaku guru komputer dan juga teman-teman
teater saya yang telah bersedia membantu saya selama proses pembuatan makalah
ini, tanpa batuan mereka semua belum pasti saya dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.
Teater adalah salah satu
seni yang kerap kita temui, teater merupakan salah satu seni yang cukup
terkenal selain musik dan seni rupa. Dalam teater kita dapat menyalurkan semua
ide dan dapat membuat kita sebagai penulis yang baik, selain menyalurkan ide
kita juga dapat menemukan kepercayaan diri. Dunia teater sangat menarik dan
mengasyikkan, selain bisa bermain peran kita juga perlu mengetahui teater
secara teori. Maka dalam makalah ini saya akan mengupas dunia teater lebih dalam
dan membuat kita lebih mengerti dunia teater yang sebenarnya.
Tak ada gading yang tak
retak, begitulah bunyi salah satu pepatah. Saya sebagai penyusun menyadari
bahwa makalah ini masil memliki banyak kekurangan untuk itu saya akan menerima
segala bentuk kritik dan saran agar saya bisa memperbaiki kekurangan saya dan
kedepannya saya akan berusaha sebaik mungkin untuk lebih baik. Semoga makalah
ini berguna bagi para pembaca.
Tasikmalaya,
31 Oktober 2016
Penyusun,
|
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang Masalah
Seni
sebagai ekspresi diri sudah berkembang dalam masyarakat. Seni drama teater menjadi
salah satu acuan perkembangan ekspresi diri yang kompleks. Namun kini melihat
seni teater yang saat ini semakin pudar, juga mulai jarang dikenal di masyarakat
luas. Banyak yang beranggapan bahwa teater membosankan dan tidak menarik.
Orang-orang zaman sekarang khususnya remaja semakin pasif karena munculnya
gadget, mereka lebih memilih untuk mengekspresikan diri melalui katakata dalam
internet dan membuat mereka menjadi ekspresif semu. Mereka tidak terbiasa lagi
dalam mengekspresikan diri mereka secara langsung, maka itu dalam makalah ini
saya ingin meningkatkan peminat teater dengan cara memberikan pandangan
terhadap mereka bahwa teater itu menarik dan sangat mengasyikkan untuk
menyalurkan hobi dan juga menghabiskan waktu senggang kita.
b. Rumusan Masalah
1. Apa definisi teater?
2. Bagaimana berakting yang baik?
3. Apa saja unsur-unsur dalam teater?
4. Bagaimana sejarah teater?
5. Karya-karya teater yang terkenal.
6. Bagaimana pandangan para remaja yang mengikuti teater,
apa manfaatnya
bagi
mereka sendiri?
BAB II
LANDASAN TEORI
a)
Definisi teater
Teater (bahasa Inggris: theater atau theatre,
bahasa Perancis théâtre berasal dari kata theatron dari bahasa
Yunani, yang berarti "tempat untuk menonton"). Teater adalah istilah
lain dari drama, tetapi dalam pengertian yang lebih luas, teater adalah proses
pemilihan teks atau naskah, penafiran, penggarapan, penyajian atau pementasan
dan proses pemahaman atau penikmatan dari public atau audience (bisa pembaca,
pendengar, penonton, pengamat, kritikus
atau peneliti). Proses penjadian drama ke teater disebut prose teater atau
disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Teater dalam arti sempit adalah sebagai drama
(kisah hidup dan kehiudpan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan
orang banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti luas, teater
adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak contohnya
wayang orang, ketoprak, ludruk dan lain-lain.
b) Berakting
yang baik
Akting yang baik tidak hanya dari segi
dialog, tetapi bagaimana kita bergerak dan menghayati cerita sangat penting.
Dialog yang baik ialah dialog yang memiliki volume yang baik(terdengar jelas),
artikulasi jelas, dapat dimengerti, dan benar-benar dihayati. Sedangkan gerak
yang baik ialah tidak terjadinya blocking, jelas, dan dihayati. Blocking
sangat dilarang dalam pementasan, mengapa? Arti dari blocking yaitu
membelakangi penonton, kalau membelakangi bagaimana penonton mengetahui ekspresi
kita? Maka sangat dilarang blocking dalam pementasan. Penghayatan peran
sangat penting, bagaimana caranya? Pertama, kita harus mengetahui inti cerita
secara garis besar dan mengetahui dialog yang harus kita ucapkan, terkadang
peran yang kita dapatkan di teater tidak seperti apa yang kita jalani di hidup
dan menyebabkan terjadinya kesulitan penghayatan peran, namun apabila kita
sering berlatih maka masalah itu akan teratasi. Artikulasi harus jelas agar para
penonton mengerti dialog yang kita ucapkan dan mereka mengerti alur cerita dari
pementasan tersebut. Improvisasi sangat diperlukan dalam teater, tidak sedikit dari
kesalahan teknis yang kerap terjadi pada saat pementasan dan saat itulah keahlian
kita dalam berimprovisasi diiuji, jangan sampai kesalahan teknis menggagalkan
pementasan anda, tak perlu bersusah payah kita dapat berimproivisasi dengan
cara menyelipkan sedikit pantun atau mungkin lelucon yang bisa membuat cerita
lebih menarik dan bervariasi.
c) Unsur-unsur
dalam teater
Unsur yang pertama yaitu naskah atau
scenario. Naskah sangat penting karena tanpa naskah takkan ada pementasan,
naskah berisi kisah dengan nama tokoh dan dialog yang diucapkan.
adalah cara
mendandani pemain
dalam memerankan tokoh teater agar lebih
meyakinkan. Tata busana adalah pengaturan pakaina pemain agar mendukung keadaan
yang menghendaki. Contohnya pakaian sekolah lain dengan pakaian harian. Tata
lampu adalah pencahayaan dipanggung. Dan yang tearhir tata suara adalah
pengaturan pengeras suara.
d)
Sejarah teater
Waktu dan tempat pertunjukan teater pertama
kali dimulai tidak diketahui. Adapun yang dapat diketahui hanyalah teori
tentang asal mulanya. Di antaranya teori tentang asal mula teater adalah
sebagai berikut:
· Berasal dari upacara agama primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu yang
akhirnya berkembang menjadi pertunjukan teater.
Meskipun upacara agama telah lama
ditinggalkan, tapi teater ini hidup terus hingga sekarang.
· Berasal dari nyayian untuk menghormati seorang
pahlawan di
kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan
yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
· Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Cerita
itu kemudian juga dibuat dalam bentuk teater (kisah perburuan, kepahlawanan, perang,
dsb).
Naskah teater tertua di dunia yang pernah
ditemukan ditulis seorang pendeta Mesir, I Kher-nefert, di jaman peradaban
mesir kuno kira-kira 2000 tahun sebelum tarikh Masehi dimana pada jaman itu
peradaban Mesir kuno sudah maju. Mereka sudah bisa membuat piramida, sudah
mengerti irigasi, sudah bisa membuat kalender, sudah mengenal ilmu bedah, dan
juga sudah mengenal tulis menulis.
I Kher-nefert menulis naskah tersebut untuk
sebuah pertunjukan teater ritual di kota Abydos, sehingga terkenal sebagai
“Naskah Abydos” yang menceritakan pertarungan antara dewa buruk dan dewa baik.
Jalan cerita naskah Abydos juga diketemukan tergambar dalam relief kuburan yang
lebih tua. Sehingga para ahli bisa mengira bahwa jalan cerita itu sudah ada dan
dimainkan orang sejak tahun 5000 SM.
Meskipun baru muncul sebagai naskah tertulis
di tahun 2000 SM. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui juga bahwa
pertunjukan teater Abydos terdapat unsur-unsur teater yang meliputi; pemain,
jalan cerita, naskah dialog, Teater
topeng, tata busana, musik, nyanyian, tarian,
dan properti pemain seperti tombak, kapak, tameng, dan sejenisnya.
e) Teater Abad 20
Teater telah berubah selama ber -abad-abad. Gedung-gedung
pertunjukan modern memiliki efek-efek khusus dan teknologi baru. Orang datang
ke gedung pertunjukan tidak hanya untuk menyaksikan teater melainkan juga untuk
menikmati musik, hiburan, pendidikan, dan mempelajari hal-hal baru.
Rancangan-rancangan panggung termasuk pengaturan panggung arena, atau yang kita
sebut saat ini, Teater di Tengah-Tengah Gedung. Dewasa ini, beberapa cara untuk
mengekspresikan karakter-karakter berbeda dalam pertunjukan-pertunjukan
(disamping nada suara) dapat melalui musik, dekorasi, tata cahaya, dan efek
elektronik. Gaya-gaya pertunjukan realistis dan eksperimental ditemukan dalam
teater Amerika saat ini.
Seiring dengan perkembangan waktu. Kualitas pertunjukan Realis
oleh beberapa seniman dianggap semakin menurun dan membosankan. Hal ini
memdorong para pemikir teater untuk menemukan satu bentuk ekspresi baru yang
lepas dari konvensi yang sudah ada. Wilayah jelajah artisitk dibuka
selebar-lebarnya untuk kemungkinan perkembangan bentuk pementasan seni teater.
Dengan semangat melawan pesona Realisme, para seniman mencari bentuk
pertunjukannya sendiri. Pada awal abad 20 inilah istilah teater Eksperimental
berkembang. Banyak gaya baru yang lahir baik dari sudut pandang pengarang,
sutradara, aktor ataupun penata artistik. Tidak jarang usaha mereka berhasil
dan mampu memberikan pengaruh seperti gaya; Simbolisme, Surealisme, Epik, dan
Absurd. Tetapi tidak jarang pula usaha mereka berhenti pada produksi pertama.
Lepas dari hal itu, usaha pencarian kaidah artistik yang dilakukan oleh seniman
teater modern patut diacungi jempol karena usaha-usaha tersebut mengantarkan
kita pada keberagaman bentuk ekspresi dan makna keindahan.
Gaya Pementasan
Gaya dapat didefinisikan sebagai corak ragam
penampilan sebuah pertunjukan yang merupakan wujud ekspresi dari:
· Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan
cerita kehidupan di
atas pentas
· Konvensi atau aturan-aturan pementasan yang berlaku pada
masa lakon
ditulis
· Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yang
dipilih untuk menegaskan makna tertentu. Gaya penampilan pertunjukan teater
secara mendasar dibagi ke dalam tiga (3) gaya besar yaitu; Presentasional,
Representasional (Realisme), dan Post-Realistic.
Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya
ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan
dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu
menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar
dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah:
Ø Teater Klasik Yunani dan Romawi
Ø Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional
Indonesia
Ø Teater abad pertengahan
Ø Commedia dell’arte, teater abad 18
Unsur-unsur gaya Presentasional adalah:
· Para pemain bermain langsung di hadapan penonton.
Artinya, karya seni pemeranan yang ditampilkan oleh para aktor di atas pentas
benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah,
gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
· Gerak para pemain diperbesar (grand style),
menggunakan wicara menyamping (aside), dan banyak melakukan soliloki
(wicara seorang diri).
· Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara. Beberapa
lakon yang biasa dan dapat dipentaskan dengan gaya Presentasional, di antaranya
adalah:
· Romeo and Juliet, Piramus dan Thisbi, Raja Lear, Machbeth
(William Shakespeare)
· Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan (Moliere)
· Oidipus (Sopokles)
· Epos dan Roman Sejarah yang biasa dipentaskan dalam
teater tradisonal Indonesia
Representasional (Realisme)
Seiring berkembangya ilmu pengetahuan dan
teknologi pada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dan tata panggung
maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan
gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya
yang disebut Representasional atau biasa disebut Realisme. Gaya ini berusaha
menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yang disaksikan
oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita
kehidupan yang sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton
yang menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi
sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.
Gaya Realisme sangat mempesona karena berbeda
sekali dengan gaya Presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam
laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi di atas pentas
adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur gaya Representasional adalah:
· Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan
seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah
cerita seolah-olah sebuah kenyataan
· Menciptakan dinding keempat (the fourth wall)
sebagai pembatas imajiner antara penonton dan pemain
· Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan soliloki sangat
dibatasi
· Menggunakan bahasa sehari-hari.
Beberapa lakon yang biasa dan dapat
dipentaskan dengan gaya Representasional, di antaranya adalah:
· Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
· Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat (Henrik Ibsen)
· Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali
Kapur (Kirdjomuljo)
· Titik-titik Hitam (Nasjah
Djamin)
· Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje)
Dalam perkembangannya gaya Representasional
atau Realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yang masih berada dalam ruang
lingkupnya yaitu; Naturalisme, Selektif Realisme, dan Sugestif Realisme (Mary
McTigue, Ibid., 162).
Naturalisme merupakan sub gaya Realisme yang
paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yang benar-benar mirip
dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung harus benar-benar
mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan
sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya
bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dan keturunan.
Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dan
kebobrokan masyarakat golongan bawah. Dramadrama mereka penuh dengan kebusukan
manusia dan hal-hal yang tak menyenangkan “dalam kehidupan”. Panggung harus
menggambarkan kenyataan sebenarnya yang mereka ambil dari kehidupan nyata.
Tokoh naturalisme yang sangat penting ialah Emile Zola. Ia mengangkat : “Bukan
drama, tetapi kehidupan yang harus disajikan pada penonton”. Sebagai gerakan
teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme
yang semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama
kelistrikan yang dapat diguankan untuk menunjang teknik pemanggungan.
Selektif Realisme, merupakan cabang gaya
Realisme yang memilih atau menyeleksi detil tertentu dan digabungkan dengan
unsur-unsur simbolik dalam manyajikan keseluruhan tata ruang yang ada di atas
pentas. Misalnya, dinding, pintu, dan jendela dibuat seperti aslinya, tetapi
atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka. Sedangkan dalam Sugestif
Realisme menggunakan bagian-bagian dari bangunan atau ruang yang dipilih dan
ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambaran sugestif bentuk
keseluruhannya. Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran
ruang Istana dengan bantuan tata lampu yang mendukung, selebihnya adalah
imajinasi.
Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan
banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi
tertentu (Presentasional dan Representasional) dan berusaha memperluas
cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan.
Gaya ini membawa semangat untuk melawan atau mengubah gaya Realisme yang telah
menjadi konvensi pada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersenidiri
dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi artistiknya. Banyak percobaan
dilakukan sehingga pada masa tahun 1950- 1970 di Eropa dan Amerika gaya ini
dikenal sebagai gaya Teater Eksperimen. Meskipun pada saat ini banyak teater
yang hadir dengan gaya Realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru
masih saja lahir dari tangan-tangan Teater
kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yang
dapat digolongkan dalam Post- Realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh
dan banyak di antaranya yang tidak mampu bertahan lama.
Unsur-unsur gaya Post-Realistic adalah:
· Mengkombinasikan antara unsur Presentasional dan
Representasional
· Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall),
dan terkadang berbicara
langsung atau kontak dengan penonton
· Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan
beberpa idiom baru
atau dengan bahasa slank.
Beberapa gaya Post-Realistic yang berpengaruh
adalah:
· Simbolisme,
sebuah gaya yang menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau
ekspresi dan emosi tertentu. Meskipun pada awalnya gaya ini muncul tahun 1180
di Perancis, namun baru memegang peranan berarti pada tahun 1900. Simbolisme
tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dan pemikiran rasional untuk
memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena
kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak
mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami melalui
intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan
tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan
seperti; seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dan unsur seni
visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai Teater Multi-Media.
· Teatrikalisme,
mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa yang
mereka tonton adalah pertunjukan teater dan bukan penggal cerita kehidupan
seperti dalam gaya Realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan
properti imajiner atau tata dekorasi yang berganti-ganti di hadapan penonton.
· Surealisme,
sebuah gaya yang mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund
Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui
simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan asosiasi
bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam
lain atau dunia mimpi yang terkadang muskil tapi hampir bisa dirasakan dan
pernah dialami oleh semua orang.
· Ekspresionisme,
istilah ini diambil dari gerakan seni rupa
pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis Van Gogh dan Gauguin. Namun
gerakan itu kemudian meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk teater. Ekspresionisme
sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu
elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru muncul tahun
1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme
dicapai oleh Walter Hasenclever pada tahun 1914
dengan dramanya Sang Anak. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918
(pada saat Perang Dunia I) dan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme
berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun
pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dan dalam masa
yang lebih kemudian. Beberapa dramawan
Amerika yang terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme ini adalah: Elmer Rice,
Eugene O’neill, Marc Connelly, dan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak
dalam tata panggung dan elemen visual yang lebih bebas diatasnya, adegan mimpi Teater dalam
lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik
dramatik dan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh
besar ekspresionisme dalam teater abad 20 (Yakob Soemardjo: 1983-1984).
· Teater Epik,
disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya Realisme,
empaty, dan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori atau pernytaan sosio-politis
melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dan bahkan terkadang
melaljui kontak lang sung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “Teater
Obsevasi”. Tokoh yang terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater
epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut sebagai teater
dramatik. Teater dramatik yang konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah
pertunjukan yang membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian
disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu idak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan
bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut
aktif berpartisipasi dan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.
· Absurdisme, gaya
yang menyajikan satu lakon yang seolah tidak memiliki kaitan rasional antara
peristiwa satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan yang lain.
Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas
untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan
komunikasi antarsesama. Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya
dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti
“Eksistensi” atau “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari?.
Pencarian makna “ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan
keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang terkemuka adalah: Jean
Paul Sartre (1905) dan Albert Camus
(1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dan Camus lebih banyak menekankan
bentuk absurditas dunia itu sendiri. Dan obyek absurd itu mereka tuangkan dalam
bentuk teater yang absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah:
Samuel Beckett (1906), Jean Genet (1910), Harold Pinter, Edward Albee, dan
Eugene Ionesco (1912).
g) Pandangan remaja terhadap seni teater
Setelah saya melakukan wawancara dengan anggota teater di Bandung,
menurut mereka dunia teater sangat membantu dalam membentuk pribadi mereka
masing-masing. Beberapa teman teater menyampaikan manfaat dan pandangan
mengenai seni peran/teater. Teater menurut mereka sangat membantu membuat kami
menjadi percaya diri, menjadi lebih jelas dalam berbicara, menjadi lebih
ekspresif (yang dulu lebih suka memendam perasaan kini berubah), mengembangkan
bakat dalam seni peran, bisa dijadikan hobi, bisa dijadikan juga sebagai karir.
1xbet korean Betting at Slots.bet | Legalbet
BalasHapusThe latest version of Slots.bet provides comprehensive and flexible odds tables kadangpintar with top sporting 바카라사이트 markets 1xbet korean from every corner of the globe.