MAKALAH
MUHAMMAD ABDUH
Disusun Oleh:
Rini Damayanti
Saifuddin Zuhry
Septiana Pujiani
Ghofa Zaksira
MADRASAH ALIYAH SERBA BAKTI SURYALAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG MASALAH
Muhammad Abduh termasuk salah satu pembaharu agama dan sosial di Mesir pada abad
ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam .Dialah penganjur yang
sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk menyesuaikan Islam dengan tuntutan
zaman modern.
Di dunia Islam Ia terkenal dengan
pembaharuannya di bidang keagamaan,dialah yang menyerukan umat Islam untuk
kembali kepada Al Quran dan Assunnah as Sahihah .Ia juga terkenal dengan
pembaharuannya dibidang pergerakan (politik) ,dimana Ia bersama Jamaludin
al-Afgani menerbitkan majalah al’Urwatul Wutsqa di Paris yang
makalah-makalahnya menghembuskan semangat nasionalisme pada rakyat Mesir dan
dunia Islam pada umumnya.
Disamping Ia dikenal sebagai
pembaharu dibidang keagamaan dan pergerakan (politik) ,Ia juga sebagai
pembaharu dibidsang pendidikan Isalam,dimana Ia pernah menjabat Syekh atau
rektor Universitas AlAzhar di Cairo Mesir.Pada masa menjabat rektor inilah Ia
mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut ,yang pengaruhnya
sangat luas di dunia Islam.
Maka dari sinilah kami akan mengangkat
sebuah tema yang manyajikan tentang arti dan pentingnya pendidikan bagi kita,
dan yang kita ambil dari pemikiran filusuf muslim yang terkenal yaitu “
Muhammad Abduh”.
B. : RUANG LINGKUP PEMBAHASAN
Makalah ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai
pemikiran pendidikan islam menurut Muhammad Abduh yang terdiri dari beberapa
pembahasan meliputi:
1.
Identitas
dan riwayat hidup Muhammad Abduh.
2.
Pemikiran
Muhammad Abduh secara umum.
3.
Pemikiran
Muhammad Abduh tentang pendidikan islam
4.
Relevansinya
dengan pendidikan islam sekarang.
BAB II
IDENTITAS MUHAMMAD ABDUH
A. IDENTITAS
DAN RIWAYAT HIDUP MUHAMMAD ABDUH
Muhammad Abduh lahir disuatu desa di
Mesir Hilir tahun 1849.Bapaknya bernama Abduh Hasan Khaerullah,berasal dari
Turki yang telah lama tinggal di Mesir.Ibunya dari bangsa Arab yang silsilahnya
sampai Umar bin Khatab. Mereka tinggal dan menetap di Mahallah Nasr.Muhammad
Abduh dibesarkan dilingkungan keluarga yang taat beragama dan mempunyai jiwa
keagamaan yang teguh.
Muhammad Abduh mulai belajar membaca
dan menulis serta menghapal Al Qur an dari orang tuanya,kemudian setelah mahir
membaca dan menulis diserahkan kepada satu guru untuk dilatih menghapal Al Qur
an .Ia dapat menghapal Al Quran dalam masa dua tahun .Kemudian Ia dikirim ke
Tanta untuk belajar agama di Masjid Sekh Ahmad ditahun 1862 ,Ia belajar bahasa
Arab,nahu ,sarf,fiqih dan sebagainya.Metode yang digunakan dalam pembelajaran
itu tidak lain metode hapalan diluar kepala,dengan metode ini Ia merasa tidak
mengerti apa-apa sehingga Ia tidak puas dan meninggalkan pelajarannya di Tanta.
Ketidak puasan dengan metode
menghapal diluar kepala ,Ia meninggalkan pelajarannya dan kembali pulang
kekampung halamannya dan berniat akan bekerja sebagai petani .Dan pada tahun
1865 ,sewaktu masih berumur 16 tahun Iapun menikah. Setelah empat puluh hari
menikah ,Ia dipaksa orang tuanya kembali ke Tanta untuk belajar,Iapun
meninggalkan kampungnya tapi tidak pergi ke Tanta ,malah bersembunyi dirumah pamannya
yang bernama Syekh Darwisy Khadr seorng terpelajar pengikut tarikat Syadli dan
merupakan alumni pendidikan tasawuf di Libia dan Tripoli.
Syekh Darwisy kelihatannya tahu
keengganan Muhammad Abduh untuk belajar,kemudian ia selalu membujuk pemuda itu
untuk bersama-sama membaca buku ,namun setiap kali dibujuk Muhammad Abduh tetap
menolaknya .Berkat kegigihan Syekh Darwisy akhirnya Muhammad Abduh mau
membacanya,dan setiap Ia membaca beberapa baris Syekh Darwisy memberi
penjelasan luas tentang arti yang dimaksud oleh kalimat itu.Setelah beberapa
kali membaca Muhammad Abduhpun berubah sikapnya terhadap buku dan ilmu
pengetahuan .Setelah itu Ia mengerti apa yang dibacanya dan ingin mengerti dan
tahu lebih banyak.Akhirnya Iapun pergi ke Tanta untuk meneruskan pelajarannya.
Setelah selesai belajar di Tanta ,Ia meneruskan studinya di Al-Azhar pada tahun
1866.Sewaktu belajar di Al-Azhar inilah Muhammad Abduh bertemu dengan Jamaludin
Al-Afgani,ketika ia datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul.Dalam
perjumpaan ini Al-Afgani memberikan beberapa pertanyaan kepada Muhammad Abduh
dan kawan-kawan mengenai arti dan maksud beberapa ayat Al-Qur an .Kemudian ia
memberikan tafsirannya sendiri.Perjumpaan ini memberikan kesan yang baik
didalam diri Muhammad Abduh.
Dan ketika Jamaludin Al-Afgani
datang da tahun 1871,untuk menetap di Mesir ,Muhammad Abduh menjadi murid yang
paling setia .Ia belajar filsafat dibawah bimbingan Al-Afgani.Dimasa ini Ia
mulai munulis di harian Al-Akhram yang pada waktu itu baru saja terbit. Pada tahun
1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan mendapat gelar ‘Alim .Ia kemudian
mengajar di almamaternya yaitu Al-Azhar,Darul Ulum dan dirumahnya sendiri ,Ia
mengajarkan buku akhlak karangan Ibnu Maskawaih,Muqaddimah Ibnu Khgaldun dan
Sejarah kebudayaan Eropa karangan guizot dan lain-lain. Dari sinilah Ia
mengadakan pembaharuan-pembaharuan khususnya dibidang pendidikan Islam.
BAB III
PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH
A. PEMIKIRAN
MUHAMMAD ABDUH SECARA UMUM
Muhammad Abduh memulai perbaikannya
melalui pendidikan. Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna
menyelamatkan masyarakat Mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai
asas dalam mencetak muslim yang shaleh. Pemikiran dibidang pendidikan dan
pengajaran umum:
a.
Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban.
b.
Perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk
diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis
c.
Reformasi al-Ahzar yang merupakan jantung umat Islam.
Jika ia rusak maka rusaklah umatnya, dan jika ia baik maka baik pula umat
Islam.
d.
Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal
intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti
pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Sebagai konsekuensi dari pendapatnya
bahwa umat Islam harus mempelajari dan mementingkan ilmu pengetahuan, umat
Islam harus pula mementingkan soal pendidikan. Sekolah-sekolah modern perlu
dibuka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan disamping ilmu agama.
Pogram yang diajukannya sebagai pondasi utama adalah memahami dan menggunakan
Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan masyarakat. Dia mengkritik
sekolah modern yang didirikan oleh misionaris asing dan yang didirikan oleh
pemerintah. Katanya di sekolah asing, siswa dipaksa mempelajari Kristen, sedangkan
di sekolah pemerintah, siswa tidak diajar agama sama sekali.
Abduh memperjuangkan sistem
pendidikan fungsional yang bukan impor, yang mencangkup pendidikan univerrsal
bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan. Semuannya harus mempunyai
kemampuan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung. Semuanya harus mendapat
pendidikan agama, mengabaikan perbedaan sektarian dan menyoroti perbedaan
Islam-Kristen.
Kata Muhammad Abduh bahwa
sesungguhnya kurikulum yang baik di sekolah Islam adalah berkaitan dengan ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu modern. Kedua kategori ilmu tersebut hendaknya berhasil
dalam pembinaan akhlak. Sesungguhnya kata Muhammad Abduh bahwa kemajuan ilmu di
mulai dari Timur baru ke Barat, kemudian saat ini kita harus mengambil kembali
ilmu-ilmu yang hilang dari kita, apalagi ilmu-ilmu tersebut dikuasai oleh
orang-orang di Barat. Dari penjelasannya tersebut, dapat dipahami bahwa pada
masa Muhammad Abduh ilmu-ilmu modern itu berkembang di negeri Barat yang pada
awalnya berasal dari negeri Timur, maka ilmu yang hilang itu harus dicari
kembali dari negeri Barat.
Abduh berpendapat, perlu dimasukkan
ilmu-ilmu modern ke dalam kurikulum al-Ahzar, agar ulama’-ulama’ Islam mengerti
kebudayaan modern dan demikian dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan
yang timbul pada zaman modern ini. Menurutnya mempermodern pendidikan di
al-Ahzar akan mempunyai pengaruh yang besar dalam usaha-usaha pembaruan Islam.
Al-Ahzar memang universitas agama Islam yang dihargai dan dihormati di seluruh
dunia Islam. Dari semua penjuru Islam semua orang pergi belajar disana.
Ulama-ulama yang dilahirkan dari universitas ini akan tersebar keseluruh
penjuru dunia Islam dan akan membawa ide-ide modern bagi kemajuan umat Islam.
Usaha-usahanya dalam pembaharuan di Al-Ahzar terbentur pada tantangan kaum
ulama konservatif yang belum dapat melihat faedah perubahan-perubahan yang
dianjurkan.
Ia juga memperhatikan
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah untuk mendidik tenaga-tenaga yang
perlu bagi Mesir dalam lapangan administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian, pendidikan dan sebagainya. Ia berpendapat, perlu dimasukkan
didikan agama yang lebih kuat ke sekolah ini, termasuk mata pelajaran sejarah
Islam dan sejarah kebudayaan islam. Atas usahanya maka didirikanlah Majelis Pengajaran
Tinggi. Muhammad Abduh melihat bahaya pada dualisme pendidikan. Sistem madrasah
lama akan melahirkan ulama’-ulama’yang tidak memiliki pengetahuan tentang
ilmu-ilmu modern, sedangkan sekolah-sekolah Islam akan melahirkan ahli-ahli
yang sedikit pengetahuannya tentang agama. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan
ilmu modern ke dalam Al-Ahzar dan memperkuat didikan agama di sekolah
pemerintah, jurang yang memisah golongan ulama’ dari golongan ahli ilmu modern
akan dapat diperkecil.
Kurikulum
Menurut Muhammad Abduh
1. Kurikulum Sekolah Dasar.
Isi dan lama pendidikan harus
beragam, sesuai dengan tujuan dan profesi yang dikehendaki pelajar. Abduh
percaya bahwa anak tukang kayu dan petani harus mendapat pendidikan minimum
agar dapat meneruskan jejak ayahnya. Kurikulum sekolah ini harus meliputi buku
ikhtisar doktrin Islam yang berdasarkan ajaran sunni dan tidak menyebut-nyebut
perbedaan sektarian, teks ringkasanyang memaparkan secara garis besar pondasi
kehidupan etika dan moral dan menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah,
dan teks ringkas sejarah hidup Nabi Muhammad, kehidupan sahabat dan sebab-sebab
kejayaan Islam.
Bahwa kurikulum pada sekolah Dasar
meliputi: membaca, menulis, berhitung, prinsip-prinsip bahasa Arab atau
kaidah-kaidah bahasa Arab, pelajaran agama, pelajaran Akhlak. Muhammad Imarah
dalam pemikirannya menambahkan bahwa pelajaran agama di sekolah dasar menurut
Muhammad Abduh meliputi :Akidah, bahwa buku yang dipelajari pada sekolah dasar
adalah buku ringkasan akidah lslam ahli sunnah dengan tidak mengajarkan,
perbedaan pendapat disertai dengan dalil-dalil yang mudah diterima oleh akal.
Pelajaran agma Islam harus menunjukkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits shahih.
Pada periode ini tidak boleh mengajarkan perbandingan agama seperti perbandingan
agama Islam dengan Kristen.
Fiqih dan Akhlak, buku yang
dipelajari di sekolah dasar juga berhubungan dengan halal dan haram dari
perbuatan sehari-hari, akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah, dan bahaya bid’ah.
Semua itu diterangkan dengan menyertakan ayat-ayat al-Qur’an, hadits shahih,
dan memberikan contoh-contoh orang-orang yang jujur dari umat terdahulu.
Doktrin yang harus dilakukan oleh seorang guru pada tingkatan ini adalah segala
perbuatan yang tidak bersandar dari Allah dan Rasulullah Saw tidak boleh
diterhma.
Sejarah. buku yang dipelajari ialah sirah al-nabawiyah dan shahabatnya yang berhubungan dengan akhlak mulia, perbuatan agung, pesan-pesan agama yang berhubungan dengan pengorbanan jiwa dan harta. Selain itu, juga boleh ditambah dengan sejarah khilafat Utsmaniyah. Semua itu, hendaknya diajarkan dengan ringkas dan mudah diterima akal.
2. Kurikulum Sekolah Menengah
Sejarah. buku yang dipelajari ialah sirah al-nabawiyah dan shahabatnya yang berhubungan dengan akhlak mulia, perbuatan agung, pesan-pesan agama yang berhubungan dengan pengorbanan jiwa dan harta. Selain itu, juga boleh ditambah dengan sejarah khilafat Utsmaniyah. Semua itu, hendaknya diajarkan dengan ringkas dan mudah diterima akal.
2. Kurikulum Sekolah Menengah
Siswa sekolah menengah haruslah
mereka yang ingin mempelajari syari’at, militer, kedokteran, atau ingin bekerja
pada pemerintah. Kurikulum yang diajarkan pada Sekolah Menengah, semua yang ada
dalam Sekolah Dasar, hanya saja materi-materi lebih diperdalam dan diperluas
lagi. Adapun ciri-ciri yang lain pada kurikulum di sekolah menengah sebagai
berikut:
a) Mantiq atau ilmu logika dan dasar-dasar penalaran
b) Akidah, Pada tingkat ini materi yang dikemukakan
dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang, pasti. Pada tingkat ini juga,
belum diajarkan perbedaan pendapat atau pembagian firqah-firqah dalam Islam.
Pada tingkat ini sudah diajarkan fungsi akidah dalam kehidupan, protokol
berdebat, teks tentang doktrin, menentukan posisi tengah dalam upaya
menghindarkan konflik, pembahasan lebih rinci mengenai perbedaan antara kristen
dan islam dan keefektifan doktrin islam dalam membentuk kehidupan di dunia dan
akhirat, teks yang menjelaskan mana yang benar dan salah.
c) Fikih dan akhlak. Pada tingkat ini pelajaran fikih
dan akhlak hanya pengembangan yang diberikan pada tingkat dasar. Pelajaran
ditekankan pada aspek sebab, kegunaan, dan menghormati orang tua, apa
pengaruhnya terhadap kehidupan keluarga, dan sebagainya. Landasan
pelajaran-pelajaran itu harus bersumber pada dalil-dalil yang shahih dan
praktek ajaran Islam al-salaf al-shalih.
d) Sejarah Islam. Materi pelajaran di sini adalah
pengembangan dari materi sejarah Islam pada tingkat dasar. Pada tingkat ini,
sejarah Islam dapat dilihat dari perspektif agama dan aspek politik, harus
berada dibelakang aspek agama. Materinya juga meliputi berbagai penaklukkan dan
penyebaran Islam.
3. Kurikulum Sekolah Tingkat Atas.
Pendidikan yang lebih tinggi lagi
untuk guru dan kepala sekolah, dengan kurikulumnya yang lebih lengkap.
Pelajaran agama Islam pada tingkatan ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh
mencakup mata pelajaran : Tafsir, hadits, bahasa arab dengan segala cabangnya,
akhlak dengan pembahasan yang terinci sebagai yang diuraikan oleh Imam
al-Ghazali dalam bukunya yang termasyhur ihya ‘Ulum ad-Din. Ushul Fiqih,
Sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah nabi Muhammad Saw. dan
shahabat-shahabatnya yang diuraikan secara rinci. Sejarah peralihan kekuasaan
Islam, sejarah kerajaan Ustmaniyah, dan sejarah jatuhnya kerajaan-kerajaan
Islam ke tangan lain dengan menerangkan penyebabnya, retorika (tehnik
berpidato), dasar-dasar berdiskusi, dan ilmu kalam.
Pada tingkat ini, ilmu kalam
diberikan dengan menerangkan aliran-aliran yang terdapat dalam ilmu kalam,
dengan menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada
tingkat ini, pelajaran ilmu kalam tidak bertujuan untuk memperteguh akidah,
tetapi untuk memperluas cakrawala pemikiran siswa.
Muhammad Imarah berpendapat bahwa
kurikulum perguruan tinggi menurut Muhammad Abduh sebagai berikut:
Tafsir al-Qur’an. Yang paling
penting dalam pelajaran ini adalah membaca dan memahami al-Qur’an yang
diturunkan oleh Allah SWT dengan sejumlah hikmahnya, Bahasa Arab dan tata
bahasanya, Hadits, khususnya yang dikutip para mufassir dalam menafsirkan
al-Qur’an, Akhlak dengan penjelasan yang rinci seperti yang dilakukan oleh Imam
al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din dan mencocokkannya dengan akidah Islam, Ushul
Fiqh,Sejarah yang lama dan yang baru, logika dan khithabah, Ilmu kalam dan
penelitan agama. Kalau dilihat dari kurikulum yang dikemukakan Muhammad Abduh
pada tiga tingkatan di atas, secara umum menggambarkan kurikulum pendidikan
agama Islam. Adapun ilmu-ilmu Barat tidak dimasukkan oleh Muhammad Abduh ke
dalam kurikulum. karena menurutnya ilmu-ilmu umum itu dipelajari bersama-sama
dengan ilmu-ilmu yang telah dijelaskan di atas. Dalam kata lain, ilmu-ilmu umum
hendaknya terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu agama. Selanjutnya Muhammad Abduh
tidak merinci karena menurutnya setiap sekolah memiliki kecenderungan-kecenderungan
atau penekanan- penekanan yang berbeda antara satu materi pelajaran dengan
materi pelajarn yang lainnya. Pada tingkatan yang terakhir ini harus dibimbing
atau diajar oleh guru-guru yang professional dan berakhlak mahmudah. Mahasiswa
yang kuliah juga tidak diberikan tanda tamat belajar (ijazah) sembarangan
kecuali setelah mereka mengikuti ujian yang mendalam dan mengikuti komprehensif
dan dinyatakan lulus.
B. PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG AGAMA ISLAM
Yang dimaksud dengan metode
pendidikan Islam disini adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik
anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode
pengajaran. Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam
pembahasan materi pelajaran sebab dalam materi pelajaran secara tidak langsung
juga membicarakan metode pengajaran.
Prof.Dr.Ramayulis dalam metodologi
pengajaran agama Islam menyebutkan bahwa tidak ada satu metode yang dijamin
baik untuk setiap tujuan pengajaran dalam setiap situasi. Setiap metode
memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, semua metode pendidikan atau
pengajaran menurut Muhammad Abduh yang akan diuraikan di bawah ini tidak
menolak dan menafikan adanya metode-metode yang lainnya. Metode metode yang
akan diuraikan, dipilih atas pertimbangan literatur yang ditemukan.
Dalam pembahasan ini, akan diuraikan
metode menghafal, metode diskusi, metode tanya jawab, metode darmawisata,
metode demonstrasi, metode latihan, metode tauladan,
cara belajar siswa aktif (CBSA), dan langkah-langkah pengajaran.
1) Metode Menghafal
1) Metode Menghafal
Dalam bidang metode pengajaran
Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah dipraktekkan di sekolah
sekolah saat itu memakai metode menghapal. Karena metode menghapal ini pulalah
Muhammad Abduh frustasi dan membenci belajar saat ia belajar di mesjid Ahmadi
Thanta. Muhammad Abduh mengkritik metode menghapal bukan berarti membenci
metode tersebut, ia tidak setuju dengan metode ini kalau berhenti sampai di
situ. Selanjutnya ia mengatakan ;”Saya kata Muhammad Abduh, telah mengalami
pengajaran seperti ini, belajar setahun setengah tanpa memahami sesuatu dari
al-Kafrawi dan Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu tanpa memahami
istilah-istilahnya telah membuatku (Muharnmad Abduh) tidak memahami sesuatu,
akhirnya saya benci belajar dan putus asa.”
Hendaknya metode menghafal ini diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
2) Metode Diskusi
Hendaknya metode menghafal ini diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
2) Metode Diskusi
Dari pengalaman belajar Muhammad
Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal, dapat diketahui bahwa ia
mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan
dan ia sukai metode diskusi. Sewaktu Muhammad Abduh menafsirkan sebuah
QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam keterangannya tentang “ وبالوالدين
Ø¥Øسانا” Disebutkan bahwa metode orang tua dalam mendidik anak di Mesir membuat
anak sebagai manusia passif, sehingga mereka (para Orang tua) mendidik
anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua mencetak anak-anak sesuai
dengan kehendak mereka. Anak-anak dijadikan berpengetahuan atau berilmu sesuai
dengan pengetahuan orang tua, anak-anak marah sesuai dengan marahnya orang tua.
Anak-anak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua.
Rumah adalah lembaga yang
menciptakan pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak kader-kader
pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik anak secara
diktator sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap suatu
kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan, “Wahai
ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan kepada umat baik di sekolah-sekolah
atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua terhadap anak dan apa kewajiban anak
terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap dua kelompok itu. Hendaklah
kalian tidak lupa kaidah atau teori kemerdekaan dan kebebasan. Dua kaidah itu
adalah landasan dasar berdirinya bangunan Islam. Para sosiolog bagian utara
yang berkuasa pada zaman ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju karena
mereka berlandaskan dua dasar di atas (kebebasan berpikir dan berbuat)
Pada penjelasan tersebut di atas,
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya
memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode
pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan
dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak
dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir.
Menghafal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat
esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur’an termasuk Muhammad
Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak
mengharamkan metode menghafal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan
kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode
menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
3) Metode Tanya Jawab
3) Metode Tanya Jawab
Manusia berhak membuka jalan bagi
penuntut ilmu untuk meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan. Contohnya; ia
menerangkan kaidah atau sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam berbagai
aspek pekerjaan. Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengjarkan
kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang
benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika
belajar sehingga ia menjadi seorang seorang ahli. Adapun untuk memperdalam
suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak didik setelah seseorang
lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan mengamalkan apa-apa yang ia
peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam pengetahuannya itu,
hendaknya ia belajar lebih lanjut.
Muhammad Qodri Luthfi mengatakan
bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan
munaqasah (diskusi) tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan
diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab,
tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi.
4) Metode Darmawisata.
4) Metode Darmawisata.
Muhammad Abduh dalam pemikirannya
sering membuat terobosan dalam pendidikan dan pengajaran. Dalam hal metode
darmawisata misalnya menyebutkan bahwa rihlah adalah rukun dalam pendidikan.
Ketika ingin mengajarkan kepada anak didik materi “pesawat” hendaknya mereka
dibawa langsung ke bandara. Ketika ingin mengajarkan “kapal” hendaknya anak
didik dibawa ke pelabuhan. Mereka sulit memahami sesuatu yang abstrak,
Kalau dilihat contoh metode darmawisata tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat memahami materi kepada anak didik. Selain itu, metode darmawisata salah satu indikasi bahwa belajar tidak hanya di kelas. Metode pengajaran seperti disebutkan di atas sangat lebih tepat digunakan pada sekolah dasar dimana kemampuan berpikir abstrak anak didik belum matang.
5) Metode Demontrasi
Kalau dilihat contoh metode darmawisata tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat memahami materi kepada anak didik. Selain itu, metode darmawisata salah satu indikasi bahwa belajar tidak hanya di kelas. Metode pengajaran seperti disebutkan di atas sangat lebih tepat digunakan pada sekolah dasar dimana kemampuan berpikir abstrak anak didik belum matang.
5) Metode Demontrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu
praktis (fi’liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya
dengan cara berceralah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya
ilmu-ilmu fi’liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti
mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di
depan kelas maupun di mesjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan ;
“Hendaknya guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar,
tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah
siap ilmu dan mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.”
6) Metode Latihan
6) Metode Latihan
Untuk mengintegrasikan antara
pendidikan akal dan jiwa, guru di sekolah harus menyuruh anak didik untuk
melakukan shalat lima waktu. Bagi sekolah yang memiliki anak didik beragama non
Islam seperti Kristen, maka guru hendaknya tidak menyuruh mereka untuk
melaksanakan shalat, namun meskipun anak didik yang non Islam tidak
melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual tersebut tidak boleh hilang
dari mereka.
Dari penjelasan tentang pembiasaan ibadah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh sangat demokratis dan menghormati kebebasan beragama. Tetapi nilai-nilai akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] bersifat universal, sehingga berlaku pada seluruh negara, suku, bangs`, agama, dan sebagainya.
Dari penjelasan tentang pembiasaan ibadah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh sangat demokratis dan menghormati kebebasan beragama. Tetapi nilai-nilai akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] bersifat universal, sehingga berlaku pada seluruh negara, suku, bangs`, agama, dan sebagainya.
7) Metode Teladan
Pendidik harus dapat mendidik anak
didik untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia. Dalam
mengajarkan pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi tauladan kepada anak
didik. Tauladan yang baik jauh lebih berpengaruh kepada jiwa anak didik dari
pada sekedar teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus memperhatikan dan
memilih gaya bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang
itu. Gaya bahasa yang digunakan guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas
dan efesiensi.
Dari penjelasan tersebut di atas,
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina
akhlak, hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan
tegas, disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.
8) Langkah-Langkah Mengajar
8) Langkah-Langkah Mengajar
Adapun alat pembelajaran yang paling
efesien melalui pengajaran tafsir al-Qur’an harus disebutkan judul atau temanya
dan dikemukakan hubungannya dengan pembaruan umat. Dalam pembaharuan masyarakat
Muhammad Abduh berusaha menghubungkan Islam dengan peradaban modern dan ilmu
pengetahuan. Selain itu ia juga berusaha menghindari kesalahan dalam memahami
teks-teks agama karena ia berpendapat bahwa akidah yang bersih dari bid’ah akan
melahirkan perbuatan yang baik.Dalam pengajaran Muhammad Abduh juga sangat
memperhatikan urusan agama dan dunia serta akhlak yang mulia.
Muhammad Abduh mengajar dengan
menempuh tiga langkah, yaitu: mengutarakan materi (matan), menerangkan
(al-syarh), menyebutkan hasyiyah-hasyiyah-nya. Terkadang Muhammad Abduh
menambahkan langkah terakhir dengan keputusan atau penentuan sikap. Kalau
dilihat dari langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Abduh ini, maka dapat
disimpulkan bahwa langkah-langkah pengajaran tersebut pada materi yang
mangandung perbedaan pendapat seperti materi pelajaran ilmu kalam dan fiqh.
Muhammad Abduh berusaha agar anak didiknya tidak membaca hasyiyah suatu buku.
Dan keterangan suatu buku untuk
menghindar suatu taklid ia tidak mengajarkan sampai akhir masa pembaharuan di
Universitas al-Azhar Mesir selain matan (materi).Meninggalkan hasyiyah dan
keterangan buku serta mengajarkan matan nya yang dilakukan Muhammad Abduh
berhubungan dengan ayat al-Qur’an dan hadits sebab para ulama sebenarnya
berbeda pendapat dalam memahami nas-nas tersebut. Muhammad Abduh juga mengarang
Ta’liqat dari buku al-Bashair al-Nashiriyah dalam ilmu mantiq, tetapi ia tidak
mewajibkan anak didiknya untuk membacanya. Muhammad Abduh mengarang Ta’liqat
tersebut untuk mempermudah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir dalam memahami
pendapatnya tentang ilmu mantiq.
Muhammad Abduh ketika mengajar
meletakkan buku catatan materi di depannya, kemudian ia menulis judul materi
pelajaran yang akan diajarkan dengan singkat dan jelas. Selain itu, ia juga
menulis beberapa pertanyaan yang akan dijawab setiap tatap muka. Muhammad Abduh
tidak lupa menulis tujuan pembelajaran setiap tatap muka dengan ungkapan yang
variatif. Menurut Rasyid Ridha langkah-langkah pengajaran atau kegiatan
pengajaran seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sangat berbeda dengan
yang dilakukan gurunya Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani pertama
kali meminta anak didiknya bertanya, kemudian masalah itu diidentifikasi dan
selanjutnya ia menerangkannya dengan merujuk suatu buku untuk memahamkan anak
didik.
Hendaknya seorang guru kata Muhammad
Abduh dapat mengetahui dan mempertimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami
materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah
siap secara psikologis menerimanya (materi – pelajaran). Guru ketika ingin
mengajar harus memposisikannya sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi
sedikit sampai pada derajat setinggi mungkin. Ini adalah keterampilan untuk
mengetahui tingkat kemampuan otak dan cara menggunakannya. Keterampilan khusus
ini harus dipelajari calon guru selama enam belas tahun dan jika inti-intinya
saja, maka cuknp ditempuh selama delapan tahun.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pendidikan dan
pengajaran. Ia berpendapat bahwa metode penyampaian ilmu kepada manusia tidak
selalu sama. Metode dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan zaman.
Contoh yang dikemukakan Muhammad
Abduh adalah teknologi pos dalam mengirim uang. Mestinya amanah penitipan uang
mesti disampaikan langsung kepada orang yang bersangkutan, tetapi dengan adanya
teknologi pos ini, maka caranya pun mengalami perubahan.
C. RELEVANSI
PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH TENTANG AGAMA ISLAM
Adapun alat pembelajaran yang paling
efesien melalui pengajaran tafsir al-Qur’an harus disebutkan judul atau temanya
dan dikemukakan hubungannya dengan pembaruan umat. Dalam pembaharuan masyarakat
Muhammad Abduh berusaha menghubungkan Islam dengan peradaban modern dan ilmu
pengetahuan. Selain itu ia juga berusaha menghindari kesalahan dalam memahami
teks-teks agama karena ia berpendapat bahwa akidah yang bersih dari bid’ah akan
melahirkan perbuatan yang baik.Dalam pengajaran Muhammad Abduh juga sangat
memperhatikan urusan agama dan dunia serta akhlak yang mulia.
Muhammad Abduh mengajar dengan menempuh tiga langkah, yaitu: mengutarakan materi (matan), menerangkan (al-syarh), menyebutkan hasyiyah-hasyiyah-nya. Terkadang Muhammad Abduh menambahkan langkah terakhir dengan keputusan atau penentuan sikap. Kalau dilihat dari langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Abduh ini, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pengajaran tersebut pada materi yang mangandung perbedaan pendapat seperti materi pelajaran ilmu kalam dan fiqh. Muhammad Abduh berusaha agar anak didiknya tidak membaca hasyiyah suatu buku.
Muhammad Abduh mengajar dengan menempuh tiga langkah, yaitu: mengutarakan materi (matan), menerangkan (al-syarh), menyebutkan hasyiyah-hasyiyah-nya. Terkadang Muhammad Abduh menambahkan langkah terakhir dengan keputusan atau penentuan sikap. Kalau dilihat dari langkah-langkah yang ditempuh Muhammad Abduh ini, maka dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pengajaran tersebut pada materi yang mangandung perbedaan pendapat seperti materi pelajaran ilmu kalam dan fiqh. Muhammad Abduh berusaha agar anak didiknya tidak membaca hasyiyah suatu buku.
Dan keterangan suatu buku untuk
menghindar suatu taklid ia tidak mengajarkan sampai akhir masa pembaharuan di
Universitas al-Azhar Mesir selain matan (materi).Meninggalkan hasyiyah dan
keterangan buku serta mengajarkan matan nya yang dilakukan Muhammad Abduh
berhubungan dengan ayat al-Qur’an dan hadits sebab para ulama sebenarnya
berbeda pendapat dalam memahami nas-nas tersebut. Muhammad Abduh juga mengarang
Ta’liqat dari buku al-Bashair al-Nashiriyah dalam ilmu mantiq, tetapi ia tidak
mewajibkan anak didiknya untuk membacanya. Muhammad Abduh mengarang Ta’liqat
tersebut untuk mempermudah mahasiswa Universitas Al-Azhar Mesir dalam memahami
pendapatnya tentang ilmu mantiq.
Muhammad Abduh ketika mengajar
meletakkan buku catatan materi di depannya, kemudian ia menulis judul materi
pelajaran yang akan diajarkan dengan singkat dan jelas. Selain itu, ia juga
menulis beberapa pertanyaan yang akan dijawab setiap tatap muka. Muhammad Abduh
tidak lupa menulis tujuan pembelajaran setiap tatap muka dengan ungkapan yang
variatif. Menurut Rasyid Ridha langkah-langkah pengajaran atau kegiatan
pengajaran seperti yang dilakukan oleh Muhammad Abduh sangat berbeda dengan
yang dilakukan gurunya Jamaluddin al-Afghani. Jamaluddin al-Afghani pertama
kali meminta anak didiknya bertanya, kemudian masalah itu diidentifikasi dan
selanjutnya ia menerangkannya dengan merujuk suatu buku untuk memahamkan anak didik.
Hendaknya seorang guru kata Muhammad
Abduh dapat mengetahui dan mempdrtimbangkan apakah anak didiknya mampu memahami
materi pelajaran dengan memakai metode tertentu dan apakah anak didik telah
siap secara psikologis menerimanya (materi – pelajaran). Guru ketika ingin
mengajar harus memposisikannya sebagai anak didik, kemudian naik sedikit demi
sedikit sampai pada derajat setinggi mungkin. Ini adalah keterampilan untuk
mengetahui tingkat kemampuan otak dan cara menggunakannya. Keterampilan khusus
ini harus dipelajari calon guru selama enam belas tahun dan jika inti-intinya
saja, maka cuknp ditempuh selama delapan tahun.
Ada beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang metode pendidikan
dan pengajaran. Ia berpendapat bahwa metode penyampaian ilmu kepada manusia
tidak selalu sama. Metode dapat berubah sesuai dengan perubahan tempat dan
zaman. Contoh yang dikemukakan Muhammad Abduh adalah teknologi pos dalam
mengirim uang. Mestinya amanah penitipan uang mesti disampaikan langsung kepada
orang yang bersangkutan, tetapi dengan adanya teknologi pos ini, maka caranya
pun mengalami perubahan.
Kompetensi
Pendidikan
a. Tugas Guru
Pendidikan adalah tugas guru yang
pertama dan pengajaran adalah tugas keduanya. Muhammad Abduh mengatakan;
“Tujuan utama mendirikan sekolah adalah untuk pengajaran. Pengajaran yang
dimaksud oleh Muhammad Abduh tentu pendidikan sekolah formal yang sangat
berbeda dengan pendidikan non formal. Pendidikan Sekolah tentu memiliki
keteraturan, sedangkan pendidikan non sekolah tentu tentu tidak ada keteraturan
formalnya, seperti tidak ada kurikulum yang sama antara satu pendidikan rumah
dengan rumah yang lain, tidak seragamnya tujuan pendidikan rumah tangga, tidak
sama waktu belajarnya, dan sebagainya. Oleh karena itu, pengajaran menurut
Muhammad Abduh identik dengan keteraturan belajar. Dengan kata lain, pendidikan
tidak selamanya melalui, pengajaran tetapi pengajaran adalah salah satu bentuk
pendidikan. Jadi antara pendidikan dan pengajaran terdapat perbedaan. Menurut
Muhammad Abduh, hendaknya dalam pengajaran di sekolah-sekolah selalu
diperhatikan pendidikan akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] , sehingga anak
didik menemukan kebahagiaan yang sempurna selama ia hidup.”
Sebenarnya tugas seorang guru tidak sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik, karena tugas utamanya adalah mendidik dan mengajar dalam pengertian yang terbatas. Mengajar adalah sebagian dari perbuatan mendidik. Dalam pengertian yang baru, mengajar merupakan upaya dan proses membuat anak didik mau belajar (Causing Children to learn) [learning how to learn]. Dari sekolah diharapkan anak didik dapat meningkatkan kecerdasannya, terbentuk akhlak dan kepribadiannya, mendapatkan keterampilan dalam bekerja, meningkatkan kemampuan estetikanya, dan berkemampuan secara layak untuk hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Dari penjelasan tentang tugas pendidik yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tugas tersebut disebut tugas profesi. Menurut Mahammad Abduh, di Mesir pada dasarnya substansi pendidikan telah hilang karena para pendidik tidak berkepentingan pada anak didik yang diajarinya karena itu sulit mencapai tujuan. Suatu kritikan tajam dari Muhammad Abduh tentang guru-guru Mesir pada masanya mereka tidak perduli keadaan muridnya, hubungan antara guru dan murid terbatas hanya di kelas, moral guru kurang mulia. Bahkan lebih ekstrimnya lagi guru tidak boleh berhubungan dengan murid. Guru-guru dalam mengajar saat itu tidak menjelaskan tujuan instruksionalnya tidak ada buku pegangan mereka.
Sebenarnya tugas seorang guru tidak sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak didik, karena tugas utamanya adalah mendidik dan mengajar dalam pengertian yang terbatas. Mengajar adalah sebagian dari perbuatan mendidik. Dalam pengertian yang baru, mengajar merupakan upaya dan proses membuat anak didik mau belajar (Causing Children to learn) [learning how to learn]. Dari sekolah diharapkan anak didik dapat meningkatkan kecerdasannya, terbentuk akhlak dan kepribadiannya, mendapatkan keterampilan dalam bekerja, meningkatkan kemampuan estetikanya, dan berkemampuan secara layak untuk hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Dari penjelasan tentang tugas pendidik yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa tugas tersebut disebut tugas profesi. Menurut Mahammad Abduh, di Mesir pada dasarnya substansi pendidikan telah hilang karena para pendidik tidak berkepentingan pada anak didik yang diajarinya karena itu sulit mencapai tujuan. Suatu kritikan tajam dari Muhammad Abduh tentang guru-guru Mesir pada masanya mereka tidak perduli keadaan muridnya, hubungan antara guru dan murid terbatas hanya di kelas, moral guru kurang mulia. Bahkan lebih ekstrimnya lagi guru tidak boleh berhubungan dengan murid. Guru-guru dalam mengajar saat itu tidak menjelaskan tujuan instruksionalnya tidak ada buku pegangan mereka.
Sikap afektif merupakan
komplementasi bagi ranah kognitif.Ia harus berdisiplin xang benar karena guru
bukan saja fungsional yang digaji dan yang mempunyai tanggung jawab tertentu
yang justru membatasi kewajiban-kewajiban sehingga membuat terciptannya jarak
antara guru, murid, dan masyarakat. Dan penjelasn tentang kritik Muhammad Abduh
terhadap guru yang tersebut di atas, dapat dipahami bahwa guru hanya berfungsi
sebagai pengajar yang menciptakan jarak dari anak didiknya. Dalam kondisi
seperti di atas, biasanya anak didik sangat hormat dan takut kepada gurunya.
Hubungan seperti ini terkesan birokratis antara atasan dan bawahan. Di sini
secara implisit Muhanimad Abduh menginginkan guru bersahabat dengan anak
didiknya. Guru yang menjadi orang tua kedua bagi anak didik. Dengan demikian,
tujuan pendidikan lebih mudah berhasil.Dalam kata lain, Muhammad Abduh
berpendapat bahwa guru memiliki tugas kemanusiaan.
b. Kompetensi Guru
Mempertegas pendapatnya mengenai
pengajar yang menurutnya tidak layak mengajar karena umumnya para pengajar masa
itu disebut “Fuqaha” tidaklah mengerti sama sekali hal-hal lain kecuali hapal
al-Qur’an secara verbal tanpa mengetahui artinya. Dari penjelasan tentang
kompetensi guru yang tersebut, Muhammad Abduh menghendaki guru yang professional,
tahu akan ilmu pendidikan, ilmu psikologi, dan sebagainya. Hanya saja ia tidak
merincikan kompetensi seorang guru, tetapi setidaknya kritikannya itu dapat
dilihat dari potret dirinya sebagai seorang guru sebagaimana digambarkan oleh
C.C.Adams. Mengenai guru yang baik pakar pendidikan C.C Adams menggambarkan
bahwa Muhammad Abduh merupakan seorang guru yang bijaksana, mengetahui keadaan
objektif muridnya, baik fisik, mental, dan pengetahuan, sehingga dapat
mengkomunikasikan segala sesuatunya selama proses pengajaran secara benar.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh berkata; “Seharusnya guru memilik pengetahuan
atau pertimbangan yang memadai tentang muridnya, sehingga ia dapat menilai
pemikiran dan kesiapan muridnya untuk menerima apa yang dikatakannya.
Selanjutnya C.C.Adams bahwa Muhammad
Abduh sangat menguasai masalah-masalah Ahli sunnah secara mendalam baik
literature primer dan sekunder yang selalu dirujuk dalam pengajarannya. Guru
yang professional menurutnya, setidaknya memiliki kompetensi berikut ini; Prilaku
yang baik , pengetahuan luas , menguasai materi. Dari penjelasan tentang
kompetensi yang penulis sebutkan di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa guru
yang professional harus memiliki kompetensi berprilaku yang baik, berwawasan
dan berpengetahuan yang luas, dan menguasai materi. Ketiga katagori kompetensi
tersebut masih dikenal dalam ilmu pendidikan sekarang ini. Prilaku yang baik
sebagai kompetensi guru disebut oleh Muhammad Uzer Utsman dengan kompetensi
professional .
c. Sifat Seorang Pendidik
c. Sifat Seorang Pendidik
Pendidikan menurut Muhanumad Abduh
hendaknya berusaha menghasilkan manusia yang berakhlak mahmudah. Oleh karena
itu, pendidikan harus menghasilkan insan-insan berakhlak mahmudah. Karena di
antara hasil yang akan dicapai dalam pendidikan pembinan akhlak mulia,maka sudah
pasti guru sebagai tenaga pendidik juga harus berakhlak mahmudah.
Muhammad Abduh tidak merinci secara detail apa itu akhlak mulia, tetapi ia mengungkapkannya secara umum dan global. Sebagaimana dikutip Muhammad Imarah, akhlak mahmudah menurut Muhammad Abduh di antaranya mengikuti perilaku para nabi seperti nabi Ibrahim As, nabi Musa As, nabi lsa As, dan nabi Muhammad Saw. Selain perilaku nabi yang harus diikuti oleh guru, juga dapat mencontoh perilaku para syuhada, .shiddiqin , dan quddusin . Karena para nabi, syuhada, shiddiqin, dan quddusin adalah suri tauladan bagi semua manusia dan termasuk guru, maka harus juga meneladani cara berpikir, kebijaksanaan, dan sumber yang mereka pakai. Selanjutnya, Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik]. Selain itu guru juga harus memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa guru harus perwira (‘iffah), berani, dan energik, sehingga ia dapat melaksanakan semua tugasnya.
Muhammad Abduh tidak merinci secara detail apa itu akhlak mulia, tetapi ia mengungkapkannya secara umum dan global. Sebagaimana dikutip Muhammad Imarah, akhlak mahmudah menurut Muhammad Abduh di antaranya mengikuti perilaku para nabi seperti nabi Ibrahim As, nabi Musa As, nabi lsa As, dan nabi Muhammad Saw. Selain perilaku nabi yang harus diikuti oleh guru, juga dapat mencontoh perilaku para syuhada, .shiddiqin , dan quddusin . Karena para nabi, syuhada, shiddiqin, dan quddusin adalah suri tauladan bagi semua manusia dan termasuk guru, maka harus juga meneladani cara berpikir, kebijaksanaan, dan sumber yang mereka pakai. Selanjutnya, Muhammad Abduh berpendapat bahwa seorang guru harus memiliki pengetahuan tentang akhlak dan berakhlak mahmudah [yang baik]. Selain itu guru juga harus memiliki akidah yang baik dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa guru harus perwira (‘iffah), berani, dan energik, sehingga ia dapat melaksanakan semua tugasnya.
Dalam rangka mengajarkan akhlak
mulia, menurutnya seorang guru harus menjadi tauladan bagi anak didiknya,
sehingga kesempurnaan sikapnya menjadi pelajaran tambahan bagi mereka (anak
didik). Prilaku yang baik dari seorang guru akan lebih berkesan dan berpengaruh
bagi anak didik dari pada ilmu yang ia sampaikan. Hendaknya guru kata Muhammad
Abduh berusaha menselaraskan Islam dengan peradaban modern dan Islam dengan
ilmu. Hendaknya juga guru mengajar dengan keterangan yang jelas dengan
menyebutkan judul atau temanya. Dalam pengajaran ilmu balaghah (tata bahasa
Arab), hendaknya guru melatih dzauq (kecerdasan) dan meningkatkan uslub yang
tinggi yang telah dinafikan oleh para filosof. Dalam pengajaran insya‘ [dikte
menulis arab] hendaknya diucapkan dengan baik dan fasih. Dalam pengajaran
berbagai ilmu, hendaknya (guru dikaitkan dengan prinsip-prinsip ilmu yang
sesuai dengan tradisi dalam suatu Negara. Dalam pengajaran ilmu berhitung,
hendaknya guru mengaitkan rumus-rumusnya dengan perdagangan dengan cara
menghitung jumlah yang dibeli dibelanjakan seseorang dan cara menghitung
pendapatan negara, dan termasuk di dalamnya latihan menimbang.
Dalam pengajaran geometri, hendaknya
guru mengaitkanmya dengan bentuk-bentuk yang berlaku dalam suatu negara. Dalam
pengajaran tata bahasa Arab, hendaknya guru menganjurkan untuk digunakan dalam
tulis menulis. Dalam pengajaran tentang pertanian dan industri, hendaknya guru
memberi kesempatan untuk praktek lapangan setiap minggu. Menurut Muhammad
Imarah, bahwa Muhammad Abduh menganut madzhab pendidikan demokratis. Ia
berpendapat pendidikan harus memperhatikan perkembangan dan periode anak,
sehingga bisa menyesuaikan, tujuan, kurikulum, dan metode pengajaran yang layak
digunakan oleh guru.
e. Panduan Khusus Pendidik Islam
Telah dikatakan oleh Muhammad Abduh
bahwa agama tidak satu tetapi bermacam-macam dan demikian juga madzhab-madzhab
dalam agama masing-masing. Oleh sebab itu, hendaknya satu agama dengan agama
yang lain saling menghormati akidah masing-masing dan tidak menghina akidah
orang lain. Dari keterngan singkat tentang pelajaran agama terdahulu, dapat
dipahami dalam konteks pendidikan guru menurut Muhammad Abduh harus memberikan
materi-materi pelajaran agama yang dapat memperkuat akidah anak didik. Guru tidak
boleh memberi keterangan yang berupaya untuk mendiskriditkan agama yang lain.
Dalam hal ini Muhammad Abduh dapat disebut penganut madzhab pluralisme dalam
ajaran agama.
Sebagai panduan operasional dalam pelajaran agama, hendaknya guru menerapkan nilai-nilai berikut:Menghindari buruk sangka (su’u al-zhan) terhadap agama lain. Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan akidahnya. Membangkitkan rasa kemanusiaan. Hendaknya ditanamakan oleh guru kepada semua anak didik bahwa semua manusia bersaudara bersumber dari satu bapak dan satu ibu, maka hendaknya yang satu memberi manfaat bagi yang lainnya. Oleh sebab itu semua manusia harus saling mencintai.
Dari keterangan yang panjang lebar tentang sifat guru di atas, secara umum itu mengandung akhlak mahmudah. Sifat-sifat para nabi, khususnya nabi Muhammad Saw dikenal dengan empat sifat (sidiq, amanah, tabligh, fatanah). Empat sifat nabi Muhammada Saw itu dapat mewakili akhlak mahmudah.
Sebagai panduan operasional dalam pelajaran agama, hendaknya guru menerapkan nilai-nilai berikut:Menghindari buruk sangka (su’u al-zhan) terhadap agama lain. Guru berusaha mempersatukan semua agama, tetapi bukan mempersatukan akidahnya. Membangkitkan rasa kemanusiaan. Hendaknya ditanamakan oleh guru kepada semua anak didik bahwa semua manusia bersaudara bersumber dari satu bapak dan satu ibu, maka hendaknya yang satu memberi manfaat bagi yang lainnya. Oleh sebab itu semua manusia harus saling mencintai.
Dari keterangan yang panjang lebar tentang sifat guru di atas, secara umum itu mengandung akhlak mahmudah. Sifat-sifat para nabi, khususnya nabi Muhammad Saw dikenal dengan empat sifat (sidiq, amanah, tabligh, fatanah). Empat sifat nabi Muhammada Saw itu dapat mewakili akhlak mahmudah.
f. faktor pendidik
a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Anak Didik
Dalam pembahasan pasal ini lebih
dahulu kita ketahui bagaimana pendapat Muhammad Abduh tentang fitrah manusia
dalam kaitannya dengan perkembangan anak didik. Menurut Muhammad Abduh
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Imarah, pada umumnya pendidikan sekolah pada
masa Kerajaan Utsmani tidak membuahkan hasil apa-apa, dan para lulusan
sekolah-sekolah dasar itu tidak memperhatikan terjadinya proses perkembangan
fitrah mereka. Terbukti bahwa perilaku mereka tidak mencerminkan kesucian fitrah
mereka.
Kritikan Muhammad Abduh di atas
tentang pelaksanaan pendidikan di Kerajaan Ustmani tersebut lebih lanjut dapat
dipahami dari pendapatnya bahwa setiap individu memiliki potensi fitri yang
baik, namun individu tersebut kemudian dapat berubah-rubah corak dan bentuknya
sejalan dengan pendidikan yang ditempuh atau dialaminya. Lebih tegas, ia
mengatakan bahwa manusia tidak jadi apa-apa kecuali dengan pendidikan dengan
memahami ajaran yang dibawa oleh Rasul, baik dan aspek hukum, hikmah, dan
lain-lain.
Dari keterangan tentang fitrah manusia tersebut di atas, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah, tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran nativesme dan empirisme.
Dari keterangan tentang fitrah manusia tersebut di atas, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh, manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memliki potensi-potensi. Dalam kata lain, manusia lahir ke dunia ini tidak seperti kertas kosong sebagaimana dalam teori tabularasa. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan) manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah, tidak berfungsi sempurna tanpa adanya proses pendidikan. Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat pada aliran konvergensi daripada aliran nativesme dan empirisme.
Lebih lanjut, dalam membicarakan
fitrah manusia, Muhammad Abduh pernah mengutip hadits nabi pada pidato resepsi
di al-Jami’ah al-Khariyah “kullu mauludin yuladu ala al-fitrah, faabawahu
yuhawwidanihi au yunashshiranihi au yumajjisanihi” kata “yuladu ‘ala al-fitrah”
adalah menunjukkan pada potensi bawaan manusia, sedangkan tiga fi’il mudhari
itu [yuhawidanihi, yunashshiranihi, dan yumajjisanihi,] mengidentifikasikan
suatu proses perkembangan anak didik melalui pendidikan. Potensi bawaan
[fitrah] ada yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah. Fitrah
nafsiyah atau ilahiyah manusia sesungguhnya adalah sama, tetapi fitrah aqliyah
mereka dapat berbeda. Fitrah aqliyah manusia, erat hubungannya dengan kualitas
gizi anak selama dalam kandungan dan selanjutnya disempurnakan dalam masa
penyusuan selama dua tahun. Setelah dua tahun kata Andi Hakim Nasution,
perkembangan otak akan lebih berkesan dan berpengaruh bagi anak didik dari pada
ilmu yang ia sampaikan sebagai alat kecerdasan tidak berarti lagi. Akan tetapi
kecerdasan bayi itu akan bertambah melalui kegiatan fisiknya yang berinteraksi
dengan lingkungan.
Dalam hadits yang menjelaskan
tentang fitrah manusia tersebut diatas, dapat dipahami bahwa manusia lahir
membawa fitrah. Fitrah lahiriyah berupa potensi aqliyah dan nafsiyah. Kedua
fitrah manusia itu berkembang dengan melalui proses pendidikan. Dengan
demikian, Muhammad Abduh mengakui pembawaan lahir dan mementingkan proses
pendidikan. Jadi jelaslah bahwa Muhammad Abduh sangat dekat dengan aliran
konvergensi. Dalam kata lain, proses perkembangan aqliyah dan nafsiyah manusia
setelah dua tahun banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (empiris).
b. Tugas Anak Didik
Tugas sebagai anak didik tentunya
bermacam-macam. Ada tugasnya terhadap dirinya, terhadap orang tuanya, terhadap
teman-temannya, terhadap gurunya, terhadap pendidikan, dan sebagainya. Tugas
anak didik terhadap pendidikan menurut Muhammacl Abduh adalah belajar
bersungguh-sungguh. Pendapatnya ini didukung oleh data bahwa ketika ia mengajar
di Universitas al-Azhar, mewajibkan mahasiswa bersungguh-sungguh dalam belajar,
tidak boleh memiliki kesibukan selainnya.Ia juga mewajibkan mahasiswa untuk
mengikuti ujian umum tahunan setelah mereka mengikuti ujian sesuai dengan
tingkatan, kepintaran, dan kapasitas keilmuan mereka secara lisan.
Dari uraian tersebut di atas tentang
kewajiban belajar dan ujian, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh menerapkan
disiplin belajar yang baik. Kemudian sistem ujian umum tahunan yang dimaksud
berbentuk tes tulis setelah dilakukan tes lisan untuk melihat kemampuan
mahasiswa yang variatif. Konsep disiplin belajar yang diterapkan oleh Muhammad
Abduh masih relevan sampai sekarang. Sistem boarding school dan beberapa
pesantren di Indonesia juga masih menerapkan system ini. Adapun sistem ujian
lisan dan tulis inipun masih banyak diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.
Dengan demikian, di antara tugas
anak didik terhadap pendidikan adalah bersungguh-sungguh belajar.Pendapat
Muhammad Abduh ini sifat dengan sifat anak didik yang ditemukakan al-Abrasyi.
la berpendapat bahwa diantara sifat anak didik adalah bersungguh-sungguh dan
tekun belajar, bahkan untuk mendapat suatu kemuliaan (ilmu) seseorang perlu
melakukan sahiru al-lail artinya tidak tidur pada malam hari dengan tujuan
lainnya tidak dimasukkan dalam konteks ini.
c. Fungsi Motivasi Bagi Anak Didik
Pada fitrahnya, manusia ingin mulia
dan dimuliakan. Salah satu bentuk pemuliaan di sekolah adalah pemberian
beasiswa, baik beasiswa prestasi ataupun beasiswa tidak mampu. Dalam hal ini,
Muhammad Abduh dalam pembaharuannya di Universitas al-Azhar memberikan beasiswa
bagi para mahasiswa berprestasi sebagai motivasi untuk lebih bersemangat lagi
dalam belajar. Beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa termasuk leaving cost.
Sistem pendidikan yang memberikan
beasiswa adalah salah satu bentuk memotivasi anak didik yang masih relevan
sampai sekarang.Beasiswa sebagai reword sangat berguna untuk membangkitkan
semangat belajar yang berimplikasi pada kompetisi anak didik, karena padu
dasarnya manusia ingin lebih mulia dari yang lainnya. Konsep ini jugalah yang
tersirat dalam ayat fastabiqul al-khairat. Muhammad Abduh tidak saja
memperhatikan kesejahteraan mahasiswa, ia juga memperlihatkan kesejahteraan
guru-guru dengan memberikan perumahan khusus untuk mereka bagi mereka juga
disediakan kantor-kantor khusus untuk bekerja.
d. Perpustakaan dan Anak Didik
d. Perpustakaan dan Anak Didik
Belajar untuk memperoleh ilmu tentu
tidak cukup hanya didapatkan dari guru. Demi memperluas wawasan, anak didik
harus senang membaca. Senang membaca, salah satunya dapat dipengaruhi oleh
lingkungan. Fasilitas perpustakaan adalah salah satu wadah untuk menciptakan
cinta membaca. Dalam kaitannya dengan perpustakaan, Muhammad Abduh dalam
pembaharuannya di Universitas Al-Azhar sangat apresiatif terhadap pengembangan,
perpustakaan yang menginventarisir buku-buku. Sebagian perpustakaan itu
ditempatkan di mesjid-mesjid yang dekat. Oleh sebab itu, Muhammad Abduh
menyediakan anggaran [budget] khusus untuk menambah buku-buku di perpustakaan,
sehingga perpustakaan Universitas al-Azhar mengoleksi buku-huku dari berbagai
ilmu pengetahuan.
Dari penjelasan tersebut di atas
tentang perpustakaan, dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan tidak bisa
terlepas dari perpustakaan, apalagi perguruan tinggi. Di antara fungsi
perpustakaan bagi anak didik, yaitu: alat memotivasi untuk cinta membaca, fasilitas
untuk memperdalam ilmu, dan membantu anak didik yang tidak mampu membeli buku.
e. Sistem Drop Out dan Anak Didik
e. Sistem Drop Out dan Anak Didik
Dalam rangka menciptakan kesungguhan
belajar anak didik, maka perlu dibuat aturan-aturan, salah satunya adalah
sistem droup out. Berkenaan dengan drop out, Muhammad Abduh juga menerapkan
sistem ini di Universitas al-Azhar. Paling lama seseorang kuliah di Universitas
al-Azhar lima belas tahun. Delapan tahun pertama, mahasiswa bisa mendapatkan
ijazah lokal dan empat tahun berikutnya bisa mendapatkan ijazah sarjana.
Dari penjelsan tersebut di atas
tentang lama masa kuliah dan sistem drop out, maka menurut penulis dapat
disimpulkan bahwa untuk mendapatkan gelar sarjana minimal membutuhkan waktu dua
belas tahun. Jika ditarik dalam konteks sistem pendidikan tinggi saat ini, maka
masa dua belas tahun bisa sampai pada tingkat doktoral. Sistem drop out ini
diberlakukan oleh Muhammad Abduh di Universitas al-Azhar Mesir.
Jika dibandingkan dengan masa studinya dalam menempuh gelar ‘Alim di lembaga pendidikan ini, maka Muhammad Abduh dapat dikatagorikan mahasiswa yang sungguh dalam belajar, karena ia dapat menyelesaikan studinya selama sebelas tahun. Sistem drop out, masih sangat diperlukan dan relevan, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki budaya yang baik, dalam hal ini budaya rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
Jika dibandingkan dengan masa studinya dalam menempuh gelar ‘Alim di lembaga pendidikan ini, maka Muhammad Abduh dapat dikatagorikan mahasiswa yang sungguh dalam belajar, karena ia dapat menyelesaikan studinya selama sebelas tahun. Sistem drop out, masih sangat diperlukan dan relevan, khususnya bagi masyarakat yang tidak memiliki budaya yang baik, dalam hal ini budaya rajin dan bersungguh-sungguh dalam belajar.
BAB IV
KESIMPULAN
Muhammad Abduh adalah seorang
pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Ide-idenya yang
cemerlang, meninggalkan dampak yang besar dalam tubuh pemikiran umat Islam.
Beliaulah pendiri sekaligus peletak dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman
modern juga menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau Jamal Al-Afghani
adalah sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam jiwanya,
akan tetapi Imam Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Doktor. Mohammad
Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan pembaharuan dan
reformasi atau sekolah pemikiran modern. Melebihi guru beliu Jamaluddin
Al-Afghani.
Muhammad Abduh memiliki andil besar
dalam perbaikan dan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer.
Pemikiran dibidang pendidikan dan
pengajaran umum:
a) Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban.
a) Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban.
b) Perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk
diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis.
c) Reformasi al-Ahzar yang merupakan jantung umat
Islam. Jika ia rusak maka rusaklah umatnya, dan jika ia baik maka baik pula
umat Islam.
d) Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal
intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti
pendapat-pendapat yang benar disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Konsep pendidikan Muhammad Abduh
ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan
Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa serta masih
ada yang relevan pada bab yang lain yang dijabarkan pada pasal-pasal di dalam
undang-undang tersebut. Berangkat dari persoalan tersebut di atas, M. Abduh
mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok
modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan
Islam M. Abduh berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap
adanya perubahan. Dengan demikian, rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi
harus dilakukan terhadap warisan pendidikan Islam yang ada. Di samping juga
melakukan upaya-upaya pembaharuan dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan
Islam dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan mendepan.
DAFTAR PUSTAKA
Mohammad, Herry. dkk. 2006. Tokoh-Tokoh Islam Yang
Berpengaruh Abad 20. Jakarta: Gema Insani
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar